Di dalam KUHP Pasal 1
ayat (1) dan ayat (2) mengatur tentang berlakunya hukum pidana Indonesia
menurut waktu (kapan dilakukannya tindak pidana), maka selanjutnya yang perlu
diketahui adalah dimensi
tempat atau dimana
berlakunya hukum pidana Indonesia sekaligus juga terkait dengan bagi
siapa hukum pidana itu diberlakukan.
Kekuatan berlakunya
hukum pidana Indonesia
menurut tempat ini
diatur dalam Pasal 2
s.d. 9 KUHP
yang kemudian dikelompokkan
menjadi empat asas yaitu asas teritorial, asas personal (nasional
aktif), asas perlindungan (nasional pasif) dan asas universal.
I.
Asas
Teritorial atau Asas Wilayah
Asas teritorial mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas
yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Memang menjadi
keniscayaan dan logis jika suatu ketentuan hukum suatu negara berlaku di
seluruh wilayah negara itu. Asas
teritorial dianut oleh
Indonesia dan disebutkan
dalam Pasal 2
dan 3 KUHP. Dalam Pasal 2, yang
menjadi patokan adalah wilayah dan tidak mempersoalkan siapa yang melakukan
tindak pidana di wilayah itu. Artinya, siapapun baik orang Indonesia maupun
orang asing yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka
diberlakukan hukum pidana Indonesia.
Berdasar Konvensi Paris
13 Oktober 1919,
wilayah Indonesia meliputi
tanah daratan, laut sampai 12 mil dan ruang udara di atasnya. Laut
sampai 12 mil diukur dari titik pantai
dari pulau-pulau terluar.
Jika berbatasan langsung
dengan negara tetangga yang
jaraknya kurang dari
24 mil, maka
diambil titik tengah
sebagai batasnya. Yang disebut sebagai wilayah Indonesia adalah wilayah
negara Indonesia sesuai dengan yang dimaksud pada waktu proklamasi kemerdekaan
Indonesia yang meliputi seluruh bekas
wilayah Hindia Belanda.
Wilayah ini kemudian
dikukuhkan dengan UU No. 7 Tahun 1976 yang memasukkan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Pasal 3 KUHP kemudian memperluas berlakunya asas teritorial dengan
memandang kendaraan air/perahu (vaartuig) sebagai ruang berlakunya hukum
pidana. Pasal 3 ini tidak memperluas
wilayah Indonesia.
Arti
harfiyah vaartuig adalah segala sesuatu yang dapat berlayar, yang dapat bergerak di atas air. Namun berdasarkan hukum internasional,
kendaraan air yang dapat
diberlakukan asas teritorial
ini adalah kapal
perang dan kapal
dagang Iaut terbuka yang
diberlakukan ius passagii innoxii
(ketentuan yang mengatur
suatu kapal yang lewat secara damai di wilayah laut negara lain).
Semula Pasal 3 KUHP tidak menyebut adanya
kapal udara, karena saat KUHP dibentuk
belum dikenal adanya
pesawat udara. Namun
dengan keluarnya UU Nomor 4 Tahun 1976 bunyi Pasal 3 ini
kemudian diubah menjadi :
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang di
luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana
di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia
II.
Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif
Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana.
Artinya hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan
demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga negara Indonesia
ke mana pun ia berada. Dalam KUHP, asas
ini diatur dalam Pasal 5 s.d. 7. Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan
sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka
diberlakukan hukum pidana Indonesia. Di sini tidak dipersoalkan apakah tindak pidana tersebut
dianggap sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang Indonesia
itu berada. Karena dianggap
membahayakan kepentingan negara
Indonesia, maka sejumlah pasal dalam Pasal 5 ayat (1)
ke-1 tersebut tetap dapat
diberlakukan hukum pidana Indonesia.
Pasal 5 ayat
(1) ke-2 menentukan
bahwa hukum pidana
Indonesia berlaku bagi warga
negara Indonesia yang di luar Indonesia melakukan tindak pidana yang dianggap
kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan di luar negeri tempat tindak
pidana dilakukan diancam
dengan pidana. Angka
ke-2 ini bertujuan
agar orang Indonesia yang
melakukan tindak pidana
kejahatan di luar negeri dan
kemudian pulang ke Indonesia
sebelum diadili di
luar negeri tidak
bebas dari pemidanaan. Namun demikian,
negara Indonesia tidak
akan menyerahkan warganya
diadili di luar Indonesia.
Angka ke-2 ini
juga membatasii bahwa yang
dapat dipidana adalah
yang masuk kategori kejahatan.
Artinya, jika ada
orang Indonesia yang
melakukan tindak pidana di luar negeri kemudian pulang sebelum diadili
di luar negeri, dan di Indonesia
perbuatannya dianggap sebagai
pelanggaran, maka tidak
akan diadili di Indonesia. Ayat (2)
dari Pasal 5
memperluas dalam hal
penuntutan. Jadi, apabila
ada orang asing yang
melakukan tindak pidana
di luar negeri
kemudian melarikan diri ke
Indonesia dan menjadi
warga negara Indonesia,
tidak membebaskan dia
dari penuntutan pidana.
Prinsip keseimbangan dalam asas ini ditunjukkan dalam Pasal 6, bahwa jika
di negara tempat dilakukannya
tindak pidana tidak
diancam dengan pidana
mati, maka ketika warga negara Indonesia
itu melarikan diri
ke Indonesia, di
Indonesia juga tidak akan dipidana mati.
III.
Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif
Asas perlindungan menentukan
bahwa hukum pidana
suatu negara berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang dilakukan
di luar negeri,
jika perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan.
Asas tersebut juga diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana Indonesia
berlaku bagi tindak pidana yang menyerang kepentingan
hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun
bukan. Asas perlindungan ini
diatur dalam Pasal 4, 7 dan 8 KUHP, diperluas
juga dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan UU
Nomor 7 Drt Tahun 1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi.mDalam KUHP, beberapa tindak pidana yang dikelompokkan
ke dalam asas perlndungan adalah:
a. Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden
(Pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127, dan 131).
b. Kejahatan
tentang merk atau
materai yang dikeluarkan
oleh pemerinta Indonesia.
c. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas beban
Indonesia
d. Kejahatan jabatan (Bab XXVIII Buku II KUHP)
e. Kejahatan pelayaran (Bab XXIX Buku II KUHP).
Tindak pidana-tindak pidana
tersebut dianggap menyerang
kepentingan negara. Oleh karena
itu, asas ini
tidak berlaku jika
terjadi pelanggaran terhadap kepentingan individu/pribadi warga
negara di luar negeri.
IV.
Asas Universal
Asas ini diberlakukan
demi menjaga kepentingan
dunia/internasional, yaitu
hukum pidana suatu
negara dapat diberlakukan
terhadap warga negaranya
atau bukan, di wilayah
negaranya atau di
luar negeri. Di
sini, hukum pidana diberlakukan melampaui
batas kewilayahan dan
personalitas. Siapapun dan di
manapun tindak pidana dilakukan, hukum pidana Indonesia dapat diterapkan.
Beberapa kejahatan yang
dapat diberlakukan hukum
pidana Indonesia berdasarkan
asas universal adalah:
a. Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu
(Pasal 4 sub ke-2 KUHP) yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929.
b. Kejahatan
perampokan/pembajakan di laut/udara
(Pasal 4 sub
4 KUHP yang diperbaharui dengan
UU Nomor 4
Tahun 1976 tentang
Kejahatan Penerbangan) yang didasarkan
pada Deklarasi Paris
1858, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan
Konvensi Montreal 1971.
Tetapi dalam Pasal 9
disebutkan bahwa berlakunya Pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang
diakui dalam hukum
Internasional. KUHP tidak merinci
hukum internasional mana
yang membatasi pasal-pasal
tersebut. Dengan demikian, aturan
ini cukup luas
karena dimungkinkan adanya
perubahan- perubahan ketentuan berdasar pada hukum internasional.
Pengecualian yang
didasarkan pada hukum
internasional ini adalah
hak imunitas atau exterritorialitas. Hak
imunitas adalah hak
yang dimiliki oleh seseorang terhadap
tuntutan pidana dari
negara tempat ia
melakukan tindak pidana. Hak
imunitas ini didasarkan
pada Perjanjian Wina
1961 yang dapat diberlakukan bagi:
a.
Kepala negara asing dan keluarganya
b.
Duta besar negara asing dan keluarganya
c.
Anak buah kapal perang negara asing
d. Pasukan
negara sahabat yang
berada di wilayah
negara atas persetujuan negara yang bersangkutan.
Hukum pidana
supra nasional merupakan hukum pidana
yang berada di "atas" hukum pidana
nasional. Artinya, jika
terjadi suatu kejahatan
tertentu tidak akan diberlakukan dengan
hukum pidana nasional
suatu negara, akan
tetapi diberlakukan hukum pidana
internasional yang didasarkan
pada perjanjian- perjanjian
internasional.
Pemberlakukannya didasarkan pada
perjanjian internasional ini
mirip dengan asas universal.
Namun perbedaannya, dalam
asas universal masih menggunakan hukum pidana suatu negara,
sedangkan dalam hukum pidana supra nasional tidak lagi menggunakan
hukum suatu negara, tetapi menggunakan hukum pidana internasional.
Hukum pidana supra
nasional diberlakukan terhadap pelanggaran HAM berat yang melanggar
hukum humaniter (perang)
internasional. Tindak pidana-tindak pidana yang
masuk dalam kategori
ini kemudian diatur
dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II
1977, di antaranya:
a.
Perlakuan kejam, penyiksaan, penganiayaan, atau
pengudungan
b.
Serangan membabi buta terhadap penduduk sipil (non combatan)
c.
Pembunuhan, perkosaan, kejahatan seksual, perampokan,
dll.
Pengadilan internasional
yang pernah dibentuk dengan dasar
hukum pidana internasional ini adalah:
a.
International
Military Tribunal Ad Hoc Nuremberg
1946
b.
International
Military Tribunal Ad Hoc Tokyo
1948
c.
International
Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (UCTY)
d.
International
Criminal Tribunal for the Rwanda
e.
International
Criminal Court berdasar Statuta Roma 1998
0 Comments