KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA INDONESIA MENURUT TEMPAT (Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum)




Di dalam KUHP Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) mengatur tentang berlakunya hukum pidana Indonesia menurut waktu (kapan dilakukannya tindak pidana), maka selanjutnya  yang  perlu  diketahui  adalah  dimensi  tempat  atau  dimana  berlakunya hukum pidana Indonesia sekaligus juga terkait dengan bagi siapa hukum pidana itu diberlakukan.
Kekuatan  berlakunya   hukum  pidana   Indonesia   menurut  tempat   ini  diatur dalam  Pasal  2  s.d.  9  KUHP  yang  kemudian  dikelompokkan  menjadi  empat asas yaitu asas teritorial, asas personal (nasional aktif), asas perlindungan (nasional pasif) dan asas universal.

 I.        Asas Teritorial atau Asas Wilayah
Asas teritorial mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Memang menjadi keniscayaan dan logis jika suatu ketentuan hukum suatu negara berlaku di seluruh wilayah negara itu. Asas  teritorial  dianut  oleh  Indonesia  dan  disebutkan  dalam  Pasal  2  dan  3 KUHP. Dalam Pasal 2, yang menjadi patokan adalah wilayah dan tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah itu. Artinya, siapapun baik orang Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka diberlakukan hukum pidana Indonesia.
Berdasar  Konvensi  Paris  13  Oktober  1919,  wilayah  Indonesia  meliputi  tanah daratan, laut sampai 12 mil dan ruang udara di atasnya. Laut sampai 12 mil diukur dari  titik  pantai  dari  pulau-pulau  terluar.  Jika  berbatasan  langsung  dengan  negara tetangga  yang  jaraknya  kurang  dari  24  mil,  maka  diambil  titik  tengah  sebagai batasnya. Yang disebut sebagai wilayah Indonesia adalah wilayah negara Indonesia sesuai dengan yang dimaksud pada waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia yang meliputi  seluruh  bekas  wilayah  Hindia  Belanda.  Wilayah  ini  kemudian  dikukuhkan dengan UU No. 7 Tahun 1976 yang  memasukkan Timor  Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Pasal 3 KUHP kemudian memperluas berlakunya asas teritorial dengan memandang kendaraan air/perahu (vaartuig) sebagai ruang berlakunya hukum pidana. Pasal 3 ini tidak memperluas wilayah Indonesia. Arti harfiyah vaartuig adalah segala sesuatu yang dapat  berlayar, yang  dapat bergerak di atas  air. Namun berdasarkan hukum internasional, kendaraan air yang dapat  diberlakukan  asas  teritorial  ini  adalah  kapal  perang  dan  kapal  dagang  Iaut terbuka  yang  diberlakukan  ius  passagii  innoxii  (ketentuan  yang  mengatur  suatu kapal yang lewat secara damai di wilayah laut negara lain).
Semula Pasal 3 KUHP tidak menyebut adanya  kapal udara, karena saat KUHP dibentuk   belum   dikenal   adanya   pesawat   udara.   Namun   dengan   keluarnya   UU Nomor 4 Tahun 1976 bunyi Pasal 3 ini kemudian diubah menjadi :
Ketentuan  pidana  dalam  perundang-undangan  Indonesia  berlaku  bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana  di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia

II.      Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif
Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga negara Indonesia ke mana pun ia berada. Dalam KUHP, asas  ini diatur dalam  Pasal 5  s.d. 7. Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka diberlakukan hukum  pidana  Indonesia. Di sini tidak  dipersoalkan apakah tindak pidana tersebut dianggap sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang Indonesia itu berada. Karena dianggap  membahayakan  kepentingan  negara   Indonesia,  maka  sejumlah pasal dalam Pasal 5 ayat  (1)  ke-1 tersebut  tetap  dapat  diberlakukan  hukum  pidana Indonesia.
Pasal  5  ayat  (1)  ke-2  menentukan  bahwa  hukum  pidana  Indonesia  berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar Indonesia melakukan tindak pidana yang dianggap kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan di luar negeri tempat tindak pidana  dilakukan  diancam  dengan  pidana.  Angka  ke-2  ini  bertujuan  agar  orang Indonesia  yang  melakukan  tindak  pidana  kejahatan  di  luar  negeri  dan  kemudian pulang  ke  Indonesia  sebelum  diadili  di  luar  negeri  tidak  bebas  dari  pemidanaan. Namun  demikian,  negara  Indonesia  tidak  akan  menyerahkan  warganya  diadili  di luar Indonesia.
Angka  ke-2  ini  juga  membatasii  bahwa  yang  dapat  dipidana  adalah  yang masuk  kategori  kejahatan.  Artinya,  jika  ada  orang  Indonesia  yang  melakukan tindak pidana di luar negeri kemudian pulang sebelum diadili di luar negeri, dan di Indonesia  perbuatannya  dianggap  sebagai  pelanggaran,  maka  tidak  akan  diadili  di Indonesia. Ayat  (2)  dari  Pasal  5  memperluas  dalam  hal  penuntutan.  Jadi,  apabila  ada orang  asing  yang  melakukan  tindak  pidana  di  luar  negeri  kemudian  melarikan  diri ke  Indonesia  dan  menjadi  warga  negara  Indonesia,  tidak  membebaskan  dia  dari penuntutan pidana.
Prinsip keseimbangan dalam asas ini ditunjukkan dalam Pasal 6, bahwa jika di negara  tempat  dilakukannya  tindak  pidana  tidak  diancam  dengan  pidana  mati, maka  ketika  warga  negara  Indonesia  itu  melarikan  diri  ke  Indonesia,  di  Indonesia juga tidak akan dipidana mati.

III.    Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif
Asas  perlindungan  menentukan  bahwa  hukum  pidana  suatu  negara  berlaku bagi  perbuatan-perbuatan  yang  dilakukan  di  luar  negeri,  jika perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana  Indonesia  berlaku  bagi  tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun bukan. Asas  perlindungan  ini  diatur  dalam  Pasal 4, 7 dan 8 KUHP,  diperluas  juga dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan UU Nomor 7 Drt  Tahun  1955  tentang Tindak Pidana Ekonomi.mDalam KUHP,    beberapa tindak pidana yang dikelompokkan ke dalam asas perlndungan adalah:
a.      Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (Pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127, dan 131).
b.         Kejahatan   tentang   merk   atau   materai   yang   dikeluarkan   oleh   pemerinta Indonesia.
c.          Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas beban Indonesia
d.          Kejahatan jabatan (Bab XXVIII Buku II KUHP)
e.          Kejahatan pelayaran (Bab XXIX Buku II KUHP).
Tindak   pidana-tindak   pidana   tersebut   dianggap   menyerang   kepentingan negara.  Oleh  karena  itu,  asas  ini  tidak  berlaku  jika  terjadi  pelanggaran  terhadap kepentingan individu/pribadi warga negara di luar negeri.

IV.   Asas Universal
Asas  ini  diberlakukan  demi  menjaga  kepentingan  dunia/internasional,  yaitu hukum  pidana  suatu  negara  dapat  diberlakukan  terhadap  warga  negaranya  atau bukan,   di   wilayah   negaranya   atau   di   luar   negeri.   Di   sini,   hukum   pidana diberlakukan   melampaui  batas   kewilayahan   dan  personalitas.   Siapapun  dan  di manapun tindak pidana dilakukan, hukum pidana Indonesia dapat diterapkan.
Beberapa   kejahatan   yang   dapat   diberlakukan   hukum   pidana   Indonesia berdasarkan asas universal adalah:
a.     Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu (Pasal 4 sub ke-2 KUHP) yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929.
b.        Kejahatan  perampokan/pembajakan  di  laut/udara  (Pasal  4  sub  4  KUHP  yang diperbaharui    dengan    UU    Nomor    4    Tahun    1976    tentang    Kejahatan Penerbangan)  yang  didasarkan  pada  Deklarasi  Paris  1858,  Konvensi  Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971.

Tetapi dalam Pasal 9 disebutkan bahwa berlakunya Pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian  yang  diakui  dalam  hukum  Internasional.  KUHP  tidak merinci  hukum  internasional  mana  yang  membatasi  pasal-pasal  tersebut.  Dengan demikian,   aturan   ini   cukup    luas   karena    dimungkinkan   adanya   perubahan- perubahan ketentuan berdasar pada hukum internasional.
Pengecualian   yang   didasarkan   pada   hukum   internasional   ini   adalah   hak imunitas   atau   exterritorialitas.   Hak   imunitas   adalah   hak   yang   dimiliki   oleh seseorang   terhadap   tuntutan   pidana   dari   negara   tempat   ia   melakukan   tindak pidana.   Hak   imunitas   ini   didasarkan   pada   Perjanjian   Wina   1961   yang   dapat diberlakukan bagi:
a.            Kepala negara asing dan keluarganya
b.            Duta besar negara asing dan keluarganya
c.            Anak buah kapal perang negara asing
d.      Pasukan  negara  sahabat  yang  berada  di  wilayah  negara  atas  persetujuan negara yang bersangkutan.

Hukum  pidana  supra  nasional  merupakan hukum  pidana  yang  berada  di "atas" hukum  pidana  nasional.  Artinya,  jika  terjadi  suatu  kejahatan  tertentu  tidak  akan diberlakukan    dengan    hukum    pidana    nasional    suatu    negara,    akan    tetapi diberlakukan   hukum   pidana   internasional   yang   didasarkan   pada   perjanjian- perjanjian internasional.
Pemberlakukannya    didasarkan    pada    perjanjian    internasional    ini    mirip dengan   asas   universal.   Namun   perbedaannya,   dalam   asas   universal   masih menggunakan hukum pidana suatu negara, sedangkan dalam  hukum  pidana supra nasional tidak lagi menggunakan hukum suatu negara, tetapi menggunakan hukum pidana internasional.
Hukum pidana supra nasional diberlakukan terhadap pelanggaran HAM berat yang  melanggar  hukum  humaniter  (perang)  internasional.  Tindak  pidana-tindak pidana  yang  masuk  dalam  kategori  ini  kemudian  diatur  dalam  Konvensi  Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II 1977, di antaranya:
a.            Perlakuan kejam, penyiksaan, penganiayaan, atau pengudungan
b.            Serangan membabi buta terhadap penduduk sipil (non combatan)
c.            Pembunuhan, perkosaan, kejahatan seksual, perampokan, dll.

Pengadilan internasional yang pernah dibentuk  dengan dasar hukum  pidana internasional ini adalah:
a.            International Military Tribunal Ad Hoc Nuremberg 1946
b.            International Military Tribunal Ad Hoc Tokyo 1948
c.            International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (UCTY)
d.            International Criminal Tribunal for the Rwanda
e.            International Criminal Court berdasar Statuta Roma 1998

Post a Comment

0 Comments