MENELAAH KEMBALI HAKIKAT PERNIKAHAN DALAM ISLAM


 Pengantar
Realita  kondisi  keluarga  Muslim  saat  ini  sangat  memprihatinkan.  Proses  menjauhkan  agama  dari kehidupan  dan  perombakan  nilai  fitrah  sangat  terasa  di  masyarakat.  "Nilai-nilai  baru"  yang ditawarkan kebudayaan Barat kini mewarnai life style masyarakat. Pola hidup keluarga berubah ke arah materialistis dan individualistis. Ikatan  antar anggota keluarga  mulai melonggar dengan perilaku  yang  jauh  dari  nilai-nilai  Islam. 

Masyarakat  dan  keluarga  Muslim  mengalami  benturan nilai, permissive society, dan lembaga pernikahan mulai diragukan. Dalam keluarga, banyak terjadi tindak kekerasan suami terhadap isteri, perkosaan ayah terhadap anak, perselingkuhan, perceraian, dan lain sebagainya. Jika  ditelaah  lebih  jauh,  hal  itu  tidak  akan  terjadi  jika  setiap  Muslim  memahami   hakikat pernikahan dalam Islam. Lalu bagaimanakah pandangan Islam tentang pernikahan?


Dasar Hukum Islam tentang Pernikahan
Allah  SWT menciptakan  manusia,  pria  dan  wanita,  dengan  sifat  fitrah  yang  khas.  Manusia  memiliki naluri,  perasaan,  dan  akal.  Adanya  rasa  cinta  kasih  antara  pria  dan  wanita  merupakan  fitrah manusia.  Hubungan  khusus  antar  jenis  kelamin  antara  keduanya  terjadi  secara  alami  karena adanya  gharizatun  nau'  (naluri  seksual/berketurunan).  Sebagai  sistem  hidup  yang  paripurna, Islam  pasti  sesuai  dengan  fitrah  manusia.  Karenanya  Islam  tidak  melepaskan  kendali  naluri seksual secara bebas yang dapat membahayakan diri manusia dan kehidupan masyarakat.  Islam telah  membatasi  hubungan  khusus  pria  dan  wanita  hanya  dengan  pernikahan.  Dengan  begitu terciptalah  kondisi  masyarakat  penuh  kesucian,  kemuliaan,  sangat  menjaga  kehormatan  setiap anggotanya, dan dapat mewujudkan ketenangan hidup dan kelestarian keturunan umat manusia.


Tujuan Mulia Pernikahan dalam Islam
Islam memandang pernikahan bukan sebagai sarana untuk mencapai kenikmatan lahiriah semata, tetapi   bagian  dari  pemenuhan   naluri   yang  didasarkan   pada  aturan   Allah  (bernilai  ibadah). Tujuannya sangat jelas, yaitu membentuk keluarga yang sakinah (tenang), mawaddah (penuh cinta), dan  rahmah  (kasih  sayang)  (QS.  Ar-Rum  [30]  :  21).  Dengan  begitu,  pernikahan  akan  mampu memberikan kontribusi bagi kesatabilan dan ketentraman masyarakat,  karena  kaum  pria  dan  wanita dapat memenuhi naluri seksualnya secara benar dan sah.
Berbeda dengan  pandangan  Barat  yang  memandang  interaksi  dalam  bentuk  pernikahan  adalah hal   yang  kolot   dan   terbelakang.   Dalam   pandangan   mereka,   kalau   dapat   memenuhi   hasrat seksualnya dengan melacur, hidup bersama tanpa nikah, dan sebagainya, maka hal itu  sah saja. Akibatnya  dalam  tatanan  masyarakat  Barat,  lembaga  pernikahan  telah  runtuh  dan  dipandang sebagai   pembelenggu   kebebasan.   Wajar   jika   kemudian   praktek   perzinaan   secara   massal (pelacuran), perselingkuan, perkosaan, pelecehan seksual, homoseksualitas, lesbianisme, dan aborsi dianggap lumrah.
Lebih dari itu, pernikahan dalam Islam adalah bagian dari proses keberlangsungan generasi manusia secara  universal  (QS.  al-Hujurat  [49] :13).  Kita  dapat  melihat,  upaya  sebagian  manusia  untuk meruntuhkan dan menganggap rendah pernikaan, berujung pada kegoncangan keluarga, orang takut atau kalau menikah takut punya anak, praktek aborsi marak. Dalam level negara, kita lihat struktur kependudukan  (demografis)  suatu  bangsa  dapat  mengalami  kekurangan  atau  minim  anak  dan generasi muda serta overload generasi renta (kasus Perancis dan Jerman). Ini jelas berbahaya bagi kelangsungan negara tersebut. Selain itu, tingginya angka perceraian mendorong maraknya pola orang tua tunggal (single parent).


Penutup
Demikianlah hakikat pernikahan dalam Islam. Apabila setiap Muslim memahaminya, maka akan tecipta  keluarga  Islami,  yaitu  keluarga  yang  dibangun  atas  dasar  ketaatan  kepada  Allah  dengan orientasi anggotanya adalah mencari karidhaan Allah dan rela diatur oleh aturan-Nya. Ketaatan ini dimulai  sejak  awal  pernikahan,  yaitu  dari  sejak  menentukan  kriteria pasangan   hidup,   proses memilih, khitbah, serta proses berumah tangga.
Islam  mengatur  hak  dan  kewajiban  anggota  keluarga  (suami/ayah,  isteri/ibu,   anak-anak) secara sempurna,  komplit,  harmonis,  dan  bersifat  saling  mengisi.  Dimana  pola  relasi  suami-isteri  adalah mitra/partner, sepasang kekasih, sahabat suka dan duka, satu sama lainnya saling mengisi kekurangan, saling mengingatkan kesalahan, saling mendorong berbuat amar ma'ruf nahi munkar dan taat kepada Allah SWT. Kalau terjadi pertengkaran, maka solusinya bukan baku hantam tetapi melalui nilai dan hukum serta tahap-tahap yang telah ditetapkan Allah SWT.

Dengan demikian keluarga Muslim tidak akan tercemar oleh "nilai-nilai baru" kebudayaan Barat yang kini mewarnai life style masyarakat, namun senantiasa berada di jalan Allah SWT.  (Drs. Asmawi H. Rawi)


Post a Comment

0 Comments