Di era reformasi ini tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan
di era globalisasi dewasa ini sudah tidak dapat diletakkan lagi. Tuntutan
tersebut menjadi penting karena jika kondisi good governance dapat dicapai, maka terciptalah suatu negara yang
bersih dan responsif (Clean and Responsif State), semaraknya masyarakat sipil (vibrant Civil Society) dan kehidupan
bisnis yang bertanggung jawab (Good
Corporate Governance) niscaya tidak lagi hanya menjadi sebuah impian. Oleh
karena itu, untuk mewujudkan Good
Governance bagi Indonesia,
merupakan suatu keharusan yang harus diupayakan.
Dalam rangka perwujudan Good Governance, sebagaimana
telah menjadi tuntutan masyarakat sangatlah penting adanya transparansi atau
keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktifitas, balik sosial, politik
maupun ekonomi. Dari aspek ekonomi, yang menjadi indikator adanya transparansi
dan akuntabilitas tersebut adalah rendahnya tingkat korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Berarti, semakin tinggi tingkat transparansi dan
akuntabilitas, maka semestinya semakin rendah pula kemungkinan terjadinya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tetapi, realita dari berbagai penelitian
dan evaluasi yang dilakukan oleh beberapa lembaga berbeda, justru menunjukkan
kecenderungan yang semakin memprihatinkan, serta pada umumnya
penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan, bahwa “Indonesia merupakan salah satu negara korup di dunia”.
Kelemahan yang sangat menonjol dalam proses
pencapaian Good Governance di
Indonesia ini adalah tingginya korupsi yang bahkan telah merambat hampir
seluruh lapisan masyarakat, baik di sektor publik maupun swasta dan sering pula
terjadi di kedua sektor tersebut secara simultan/bersamaan. Korupsi juga telah
berkembang dan mengakar di lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga perwakilan
rakyat (DPR dan DPRD), ironisnya lagi hal ini juga terjadi di lembaga peradilan
sendiri. Seharusnya kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan menjadi ujung
tombak bagi upaya pemberantasan korupsi justru pandangan oleh banyak kalangan
merupakan institusi-institusi publik yang korup dan banyak melakukan
penyalahgunaan wewenang. Dalam artian, bahwa korupsi telah merajalela terutama
di kalangan birokrasi pada institusi publik atau lembaga pemerintah.
Dari uraian diatas mengindikasikan bahwa korupsi
telah menjadi permasalahan yang serius dan sistemik yang sangat membahayakan
dan merugikan negara dan masyarakat, seperti halnya Indonesia. Padahal masyarakat pada
umumnya bukannya tidak menyadari bahwa korupsi telah mencederai rakyat miskin
dengan terjadinya penyimpangan dana yang seharusnya diperuntukkan terhadap
pembangunan dan kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah mengikis kemampuan
pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi rakyatnya,
sehingga pemerintah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi
masyarakatnya secara adil.
Ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab adanya banyak korupsi di daerah, dapat
dilihat secara sederhana bahwa penyebab tersebut meliputi :
1.
Faktor penyebab
korupsi yang pertama dan sangat mendasar di daerah adalah faktor politik dan
kekuasaan, yang berarti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh
para pemegang kekuasaan (Eksekutif maupun Legislatif) yang menyalahgunakan
kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi
maupun untuk kepentingan kelompok dan golongannya. Kasus korupsi yang terjadi
di daerah ternyata dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, terutama di lembaga
pemerintahan (Eksekutif) dan lembaga Legislatif. Dengan modus yang dilakukan
pun sangat beragam, mulai dari perjalanan dinas yang fiktif, penggelembungan
dana APBD maupun cara-cara lainnya yang bertujuan untuk menguntungkan diri
sendiri, kelompok maupun golongan, dengan menggunakan dan menyalahgunakan uang
negara.
2.
Faktor kedua adalah masalah ekonomi. Faktor ekonomi
sebenarnya tidak terlalu mendasar jika dibandingkan dengan faktor politik dan
kekuasaan. Alasannya pun cenderung masih konvensional, artinya tidak
seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup yang harus terpenuhi.
3.
Faktor ketiga adalah nepotisme. Karena masih
kentalnya semangat nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta, terutama di
daerah-daerah dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian
menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, khususnya yang berhubungan dengan
keuangan negara.
4.
Faktor terakhir adalah faktor pengawasan. Lemahnya
fungsi kontrol/pengawasan yang dilakukan oleh beberapa lembaga, seperti BPKP
serta Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik
(eksekutif dan legislatif) merupakan faktor penting yang menumbuhkembangkan
budaya korupsi di berbagai daerah. Fungsi kontrol yang seharusnya dilaksanakan
oleh lembaga legislatif pada kenyataannya acap kali tidak efektif, hal ini
disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri yang sering kali terlibat
dalam penyimpangan serta penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh
legislatif.
0 Comments