Dilatarbelakangi permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia
saat ini, maka arah kebijakan umum pembangunan ke depan pada dasarnya adalah
terwujudnya bangsa dan negara Indonesia seperti yang terumus dalam visi dan
misi pembangunan yang telah dirumuskan. Secara singkat arah kebijakan umum
pembangunan nasional adalah sebagai berikut :
1. Arah
kebijakan umum untuk mencapai negara Indonesia yang aman dan damai diwujudkan
melalui peningkatan saling percaya dan harmonis di masyarakat, penanggulangan
separatisme, terorisme, kriminalitas, dan gangguan keamanan lainnya. Arah
kebijakan ini akan memperkokoh tatanan masyarakat sipil (Civil Society).
2. Arah
kebijakan umum untuk mewujudkan negara yang adil dan demokratis dicapai melalui
penegakan hukum yang tidak pandang bulu, penghapusan diskriminasi, dan
pengakuan hak-hak asasi manusia.
3. Arah
kebijakan umum untuk mencapai keadaan masyarakat yang sejahtera diwujudkan
melalui peningkatan kinerja perekonomian, penciptaan lapangan kerja,
penghapusan kemiskinan, dan pengurangan berbagai bentuk ketimpangan.
Melihat kondisi
bangsa saat ini maka seakan-akan arah kebijakan tersebut di atas sangat sulit
untuk diwujudkan. Masih banyak faktor dan pengaruh yang membententengi untuk
tercapainya arah kebijakan tersebut. Untuk mencapainya bangsa Indonesia
haruslah masuk dalam proses transisi. Yaitu transisi dari Indonesia masa lalu
dengan kegagalan dan kenerhasilannya, menuju masa depan Indonesia yang aman,
damai, adil, dan demokratis serta sejahtera. Proses transisi tidak hanya
dilalukan dalam waktu yang singkat/cepat tetapi haruslah dilakukan secara
simultan dan berimbang. Maka dari itu Indonesia perlu dukungan semua elemen
masyarakat.
Tiga hal yang harus
dilakukan dalam masa transisi yaitu :
1. Transisi
dari sistem yang otoriter ke sistem demokratis.
2. Transisi
dari sistem ekonomi yang rentan terhadap praktek kolusi, nepotisme,
kapitalisme, ke sistem ekonomi yang didasarkan atas demokrasi ekonomi.
3. Menjaga
integritas nasional dan mengatasi persoalan-persoalan sosial yang berkembang
serta mengatasi dampak persoalan sosial tersebut.
Sesuai dengan arah
kebijakan umum pembangunan nasional poin 2, maka hak-hak asasi manusia harus
diwujudkan. Tidak hanya hak-hak orang dewasa tetapi yang sering terlupa adalah
hak-hak anak. Salah satu hak anak yang sering dilupakan adalah hak anak-anak
pinggiran. Mereka ada diantara kita. Wajahnya tampak tampak dipersimpangan
jalan, di pabrik, dalam angkutan umum, di perkebunan, di dekat timbunan sampah.
Jumlah mereka banyak, selalu meningkat seiring dengan meningkatnya/bertambahnya
gedung, mall, ITC, dan real estate. Gedung-gedung pencakar langit berkembang dengan
pesatnya sehingga kota-kota besar apalagi Jakarta tampak seperti hutan beton.
Menjadi banyak berarti jumlah mereka meningkat dengan rutin. Maka, modus
melihatnya seperti melihat lalat yaitu melihat serentak mengabaikan, yang
mereka terima merupakan cermin bagaimana mereka ditempatkan dalam masyarakat.
Mereka menyadari hal
itu. Maka, mereka menyebut dirinya
sebagai “anak pinggiran “, antara lain anak jalanan, pengaman, joki
three in one, pemulung cilik, pengasong yang rata-rata berusia 5-17 tahun.
Sebagian lagi bekerja sebagai buruh pabrik. Dalam perjuangan di belantara
ekonomi mereka adalah korban. Wajah korban itu makin jelas manakala mereka
dipentaskan dalam kebijakan penggusuran, pembekaran, dan penelantaran pemukiman
mereka. Berada di pinggiran tidak hanya berarti berada dalam keterbatasan,
seperti yang terungkap dalam kata “miskin”, tetapi juga berarti menjadi
cakrawala masyarakat itu sendiri sebab anak pinggiran sianggap sebagai korban
lingkungan sosial yang memungkinkan perbedaan antara masyarakat dan bukan
masyarakat. Eksistensi atau keberadaan mereka adalah pembuat identitas
(identity maker) sebuah masyarakat. Perlakuan terhadap mereka merupakan cermin
taraf keadaban atau kearifan masyarakat tempat mereka di pinggirkan.
Kota-kota yang
menyambut mereka sebagai bagian masyarakat yang telah berhasil mengatasi
problem integrasi sosialnya sebab anak pinggiran dalah bagian naratif yang paling
kelam dari identitas kota yang retak oleh pertarungan kepentingan. Seperti hal
di atas ketelantaran mereka adalah cermin dari krisi solidaritas. Sebagaimana
keretakan sebuah keluarga ditandai dengan ketelantaran anak-anaknya, begitu
juga dengan sebuah kota sebuah manajemen kota yang gagal untuk mendorong atau
memobilisasi sikap-sikap dan aneka tindakan beradap warganya. Kegagalan
tersebut tercermin dalam lemahnya dan tak terlindunginya hak anak-anak
pinggiran yang selalu menjadi korban kekerasan kota dan keluarga baik kekerasan
secara fisik maupun psikis. Pasar birokrasi dan budaya metropolis tanpa ampun
telah melibas anak-anak pinggiran dan merampas hak-hak mereka sebagai anak.
Kilasan wajah cilik di jalan, di pabrik, di tempat sampah itu enggan kita tatap
karena tatapan kita akan segera nerbalik menjadi gugatan atas sikap apatis
kita.
Berbicara masalah hak
seperti yang dilakukan anak-anak pinggiran ini tak lain daripada suatu tuntutan
untuk bernegosiasi tentang nasip mereka. Dan hak bukanlah suatu pemberian atau
efek belas kasihan orang lain, tetapi hak ada sejak lahir dan merupakan sesuatu
yang dapat di tuntutkan kepada orang lain. Oleh karena itu, mereka tidak
mengemis hak, mereka menuntut. Dan karena setiap hak tersebut melekat kewajiban
pihak yang dituntut, maka si penuntut yaitu anak-anak berhak mendapatkan respek
dari orang lain dalam tuntutan mereka. Dalam kehidupan kompleksitas sosial,
bisa dipastikan ada banyak hal yang mempengaruhi terjadi berbagai bentuk dan
jenis kekerasan pada anak-anak pinggiran. Di satu sisi ada yang berkaitan
dengan budaya yang kemudian memunculkan istilah budaya kekerasan. Di sisi lain
ada yang bertalian atau berhubungan dengan struktur dan relasi kekuasan.
Bila ditinjau dari
pasal 4 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “ Setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi ”, maka kondisi di atas sangatlah tidak cocok yaitu hak anak-anak
dilanggar dan diabaikan. Hak anak yang didambakan hanyalah menjadi impian saja.
“ Setiap anak “, kata
undang-undang di atas, “ berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. Bunyi undang-undang yang dirancang oleh orang
dewasa itu menghibur mereka. Realisasi hak-hak yang tercantum di dalamnya
mereka tuntut. Suara kanak-kanak mereka tidak mampu menyuarakan ketegasan
hatinya. Satu hal yang mereka ketahui, mereka adalah korban karena orang-orang
dewasa yang ikut mengendalikan pasar, negara, masyarakat, keluarga dan lainnya
itu mengabaikan hak-hak mereka.
0 Comments